Opini

Pengawasan Praktik Klientelisme Political Racing

557
×

Pengawasan Praktik Klientelisme Political Racing

Sebarkan artikel ini

Oleh : Andi Irawan

Ketua Bawaslu Kab.Tangerang

Kajian Kompetisi Politik yang berlangsung dalam terma Kepemiluan dan demokrasi elektoral, dapat dikaitkan dengan sistematika tindakan kepentingan yang dirumuskan oleh tokoh awal ekonomi modern Adam Smith, selain Bapak Ilmu Ekonomi, dikenal juga sebagai filsuf moral dan politik, orang juga menyebutnya sebagai perintis ekonomi-politik (political economy). Pandangan Smith ; Kesejahteraan umum, tercipta bukan sebagai hasil yang disengaja, melainkan sebagai dampak alamiah yang tak disengaja dari rantai pengejaran kepentingan-diri setiap orang. Seakan-akan ada ‘rancangan agung’ (grand design) yang bekerja di balik hiruk-pikuk kepentingan-diri. ‘Tangan tak kelihatan’ adalah nama yang diberikan Smith bagi perancang agung itu (cita.adam-Smith).

Kajian Political Racing dalam pengertian kompetisi politik menjadi hal yang sering ramai dibincangkan dalam forum wacana kepemiluan juga demokrasi elektoral dan masif dipraktikan diwilayah elit institusional sosial movement yang terlembagakan secara resmi, seperti contohnya partai politik. Ruang publik dalam mengawal Demokrasi elektoral atau yang sering disebut sebagai pesta demokrasi baik pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, menghadirkan sebuah fenomena dan diskursus yang menarik, untuk terus dievaluasi serta strategis dikembangkan sebagai wujud keterlibatan masyarakat sipil secara kritis dan komprehensif.

Fenomena keterlibatan masyarakat sipil memberikan keseimbangan serta perhatian kritis melalui pelaksanaan pengawasan partisipatif agar praktik dan makna demokrasi elektoral berada pada jalur yang tetap transparan, akuntabel, profesional, sehingga proses berikutnya membentuk semacam kesepakatan etika dinamis elektoral atau bisa diartikan sebagai wacana elektoralisme. Kesepakatan etika dinamis dalam mengawasi demokrasi menjadi sebentuk “elektoralisme” tersebut tentu mendorong nilai baru dan energi kebersamaan untuk sukarela mengerahkan segenap kemampuan secara moril dan materil masyarakat pemilih bersama elit sosial masyarakat sipil yang dipilih baik langsung maupun keterwakilan menjalin komitmen kontrak sosial dalam kepentingan bersama meraih kemenangan kompetisi politik sama sebangun dengan adanya persaingan Political Racing.

Aufklarung persaingan Political Racing adalah gejala rasional dan natural dapat menghidupi penggiat isu kontestasi nasional hingga pada level grassroot/akar rumput penentu sekaligus objek vital dalam platform persaingan politik secara luber dan jurdil sesuai nilai kemanusiaan perwujudan semangat demokrasi yang beradab. Sudah menjadi hukum alam bahwa munculnya Political Racing memunculkan banyak aktor dan pendukung rancangan agung atau semesta dampak yang melingkupinya, sebagai prasyarat uji kompetensi sebelum kompetisi formal berlangsung. Keniscayaan dalam panggung pelaksanaan demokrasi universal melahirkan selain aktor utama grand design kerakyatan menuju proses mewujudkan masyarakat tercerahkan, juga akan memunculkan kader yang dipersiapkan guna melewati ruang hampa kristalisasi leadership. Menjadi pemimpin terpilih untuk mengaktualisasi pelaksanaan konstitusi sebagai aktor Dilematis ( Posisi terikat) versus Aktor Konfrontatif ( penggerecok) dalam upaya menghadapi segala kepentingan politik di ruang publik.

Agenda ruang publik dimotifasi oleh pola kepentingan untuk menggerakkan mesin peradaban kontestasi politik yang berdampak langsung atas kebutuhan harapan perubahan ekonomi yang lebih berkeadilan, membahagiakan bagi seluruh rakyat konstituen, satuan penting pilar konsepsi yang diusung oleh aktor konstruksi demokrasi, bersama instrumen pendukungnya. Aktor kontestasi dalam perspektif Political Racing, menghajatkan konstruksi komitmen saling menguntungkan dan menghadirkan kepentingan lebih khusus bersifat pragmatis musiman. Keuntungan pragmatis dilandasi oleh sikap alternatif keterikatan interest (ketertarikan) sosial sebagai individu maupun komunitas bangsa. Semua ketertarikan dikelola dan dikendalikan oleh kebijaksanaan (Instrumen tak terlihat) pemerintahan. Tangan tak terlihat dalam pandangan klasik Invisible hand Adam Smith ( Wikipedia), menggambarkan adanya praktik kepentingan ekonomi secara permanen mengikat keberlangsungan ekonomi politik sebangun perspektif paradigma antrosentrisme melawan teosentrisme. Tak terelakan adanya realita benturan Ideologi besar kapitalisme global dalam pengertian prinsip individual liberalisme dan kolektif sosialis komunisme (analisa dialektis) menjadi tangan tak terlihat dalam mempengaruhi pergulatan persaingan dinamis mesin politik.

Realitas mesin politik masih didominasi oleh masifnya praktik Quid pro quo ( Wikipedia) dalam arti bantuan untuk bantuan”. Frasa yang memiliki arti serupa antara lain: “memberi dan menerima”. Terjadi pada tradisi relasi kuasa patron (aktor panutan) menjadi sumber mobilitas patrenalistik imperatif mengasuh para pengikut loyalis transaksional memberi dan menerima saling mendapatkan pertukaran ( barter) bantuan kepada klien (pembeli/penerima layanan). Para klien berusaha memperoleh jaminan keamanan bantuan akses perlindungan, kemudahan peningkatan ekonomi. Jaringan hubungan bantuan aktor politik yang digambarkan dalam patronase-klien. Istilah hubungan jaringan tersebut dikenal sebagai politik Klientelisme (clientela) hubungan timbal balik jaringan pelanggan pertukaran berupa barang dan jasa keuntungan untuk dukungan politik (Wikipedia).

Pendalaman Uraian, filosofi pola motif tindakan kepentingan ekonomi sebagai dasar praktik Klientelisme, upaya Political Racing. Menjadi problematis karena kecendrungan unsur kedekatan membuat pola hubungan kepentingan antara elit politik dan publik menjadi berpotensi koruptif. Untuk dapat merespon problematika ini, setidaknya terdapat empat strategi utama yang dapat dilakukan. Pertama, pengetatan pengawasan pelaksanaan program pasca pemilu, pengecekan independen antara kebijakan programatik dan non-programatik. Hal ini menjadi krusial karena pada dasarnya kebijakan politik non-programatiik, seperti yang bersifat tidak mendesak dan tidak bertumpu pada prioritas baku, menjadi indikasi dari adanya transaksi patron-klien. Hingga kini, hal ini belum menjadi perhatian khusus, sehingga belum ada data akurat yang dapat menjelaskan kejadian klientelisme di luar masa Pemilu. Kedua, pengawasan yang bersifat mengakar dan lokal. Memberikan kekuatan pada masyarakat sipil untuk mengontrol pejabat politik terpilih. Ketiga, reformasi regulasi terkait pengaturan patron-klien guna mengembalikan marwah Pemilu kepada yang semestinya. Terakhir, pengawasan yang ketat terhadap kegiatan pada masa reses perlu dilakukan. Terutama terhadap kegiatan tahapan kampanye. (jurnal.kpk. Klintelisme).

Bahwa Pergeseran kondisi sosial masyarakat saat ini tidak bisa diabaikan.hal yang menguat di masyarakat adalah klintelisme politik. Istilah klientelisme, bukanlah sesuatu yang baru, fenomena ini muncul pada saat kegiatan Pemilu/pemilihan berlangsung antara pemilih dan yang dipilih terjalin kesepakatan dukungan elektoral yang didasarkan pada saling keuntungan. Biasanya politisi yang sedang mencari dukungan bisa menawarkan bantuan material, program, sponsor kegiatan, atau sekedar janji abstrak. Sementara pemilih menjanjikan akan memobilisasi masa untuk memilih tanpa menanyakan visi misi politisi lebih lanjut. Sebagai kesimpulan penulis memandang perlu menegaskan kembali pentingnya membangun relasi interaksi sosial di ruang publik bernama pemilu/pemilihan agar kontestasi kekuasaan melalui prosedur sistem demokrasi dapat berjalan adil untuk semua peserta pemilu/pemilihan. Menempatkan Bawaslu dalam ruang publik secara tepat (M. Afifuddin, Membumikan Pengawasan Pemilu, 2020), membersamai masyarakat sipil lainnya mengarahkan, mendorong serta melibatkan sebagian besar Kekuatan rakyat baik elit maupun masyarakat lokal atau masyarakat adat dalam pengawasan parisipatif yaitu melakukan pengawasan dan pencegahan secara preventif edukatif pendidikan politik untuk berperan meningkatkan kualitas demokrasi, agar tidak terjebak dalam praktik politik pragmatis relasi klientelisme.

BACA JUGA :  Problematika DPB Berkualitas sebagai Elemen Dasar Pemilu/Pemilihan Berintegritas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *