Opini

Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai Solusi Penanganan Over Kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan

721
×

Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai Solusi Penanganan Over Kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan

Sebarkan artikel ini
Foto: Firdaus,AMD.IP, S.H, M.H

Konsep Restorative Justice memiliki metode implementasi dalam bentuk mediasi penal dan diversi, meskipun keduanya memiliki cara dan sudut pandang yang sama, namun terkadang penggunaannya berada dalam wilayah hukum yang berbeda. Mediasi penal lebih dikaitkan dengan perkara-perkara pidana biasa sedangkan diversi merupakan peristilahan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Pendekatan restorative justice sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, dengan menyelenggarakan dan menjadi penengah proses mediasi atau perdamaian antara pelaku tindak pidana dengan korban dan keluarganya. Namun penerapan Restorative Justice di dalam sistem hukum Indonesia masih bersifat parsial dan tidak komprehensif karena masih tersebar dalam berbagai instrumen hukum dan kebijakan dan belum diterapkan secara menyeluruh dalam sistem peradilan pidana kita. Faktor lain yang menghambat penerapan konsep restorative justice sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan adalah faktor perundang-undangan yaitu belum adanya undang-undang yang mengatur penggunaan restoratif justice melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) terhadap perkara pidana.

BACA JUGA :  Wakapolri Bicara Bagaimana Melindungi Dunia Pendidikan dari Paham Radikalisme

Beberapa upaya telah dilakukan secara sektoral dan parsial oleh penegak hukum diantaranya Institusi Kepolisian melalui surat Kapolri Nomor Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS yang mengupayakan penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan jalur alternatif diluar pengadilan melalui mediasi penal sebagai penerapan dari konsep ADR. Namun karena kedudukan surat Kapolri tersebut dibawah Undang-Undang (KUHP dan KUHAP) maka tidak jarang surat Kapolri tersebut mentah dan tidak dapat digunakan karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kemudian pada lembaga peradilan juga terdapat beberapa yurisprudensi terkait penerapan restorative justice diantaranya putusan Mahkamah Agung RI No. 1600 K/Pid/2009. Dalam putusan tersebut majelis hakim menyatakan bahwa salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana. Kemudian majelis hakim menilai pencabutan perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang terganggu. Mahkamah Agung mengatakan perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *