Berbagai kebijakan telah diambil untuk mengatasi permasalahan over kapasitas tersebut diantaranya melalui rehabilitasi bangunan hingga pembangunan gedung baru dengan tujuan menambah daya tampung Lapas. Namun kebijakan tersebut tidak secara signifikan mampu mengatasi permasalahan over kapasitas mengingat penambahan jumlah tahanan dan warga binaan yang masih jauh lebih banyak akibat dari tingginya tingkat kriminalitas dimasyarakat. Jika permasalahan over kapasitas tersebut dianalogikan dengan atap yang bocor, berapa banyak dan seberapa besar wadah penampungan yang harus disediakan untuk menampung air yang masuk kedalam rumah ketika hujan jika lubang pada atap yang bocor tersebut tidak segera diperbaiki. Hal inilah yang terjadi di Pemasyarakatan, berapa banyak anggaran yang harus dikeluarkan oleh negara untuk menambah kapasitas bangunan atau membangun Lapas/Rutan yang baru? Atau sampai dimana kemampuan keuangan Kementerian Hukum dan HAM menyediakan anggaran bahan makanan tiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan warga binaan dan tahanan yang terus menerus bertambah? Penyelesaian permasalahan over kapasitas ini seharusnya berfokus pada proses sebelum masuknya “orang-orang bermasalah” tersebut ke lembaga pemasyarakatan yaitu pada tahap penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, sampai ke tahap putusan pengadilan.
Hal ini sangat penting agar tidak semua pelaku kejahatan harus masuk ke lembaga pemasyarakatan padahal beberapa tindak pidana justru dapat diselesaikan di tingkat kepolisian dan kejaksaan tanpa harus dilakukan hukuman badan berupa pemidanaan. Upaya yang mungkin lebih tepat dilakukan untuk menanggulangi kelebihan daya tampung di lembaga pemasyarakatan ini salah satunya dapat ditempuh dengan pendekatan Restorative Justice, yaitu pergeseran pemidanaan dalam sistem peradilan pidana yang lebih mengutamakan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana selain bisa juga dengan alternatif hukuman seperti kerja sosial dan lainnya. Bagir Manan, menguraikan substansi restorative justice yang berisi prinsip-prinsip: membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana; menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai „stakeholders‟ yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions).
Munculnya wacana restorative justice merupakan jawaban atas hancurnya sistem pemidanaan yang ada saat ini dimana sistem tersebut sudah tidak efektif dalam menekan tingginya angka kriminalitas yang berujung pada over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan. Konsep peradilan pidana konvensional yang hanya berfokus pada pemidanaan dan penghukuman pelaku kejahatan belum menyentuh kepentingan korban dan/atau masyarakat yang dirugikan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Restorative Justice lebih memandang pemidanaan dari sudut yang berbeda, yaitu berkaitan mengenai pemenuhan atas kerugian yang diderita oleh korban sehingga kedamaian menjadi tujuan akhir dari konsep ini. Konsep ini tidak serta merta menghilangkan pidana penjara, namun dalam kasus-kasus tertentu yang menimbulkan kerugian secara massal dan berkaitan dengan nyawa seseorang, maka pidana penjara masih dapat digunakan.