NASIONALXPOS.CO.ID, BANDA ACEH – Pemuda asal Kabupaten Aceh Barat, Sulthan Alfaraby berbagi kisah saat terjadinya bencana gempa-tsunami Aceh bersama Museum Tsunami Aceh dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Aceh.
Dalam video yang berdurasi hampir setengah jam di akun Instagramnya tersebut, pemuda yang akrab disapa Alfaraby (23) ini bercerita secara mendalam bagaimana riuhnya teriakan dan kepanikan masyarakat Aceh saat itu menurut pengalaman pribadinya.
Saat itu, Alfaraby masih duduk di bangku salah satu Taman Kanak-kanak (TK) di Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat yang merupakan saksi bisu ketika terjadinya gelombang tsunami.
Dia teringat pada hari Minggu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004 pukul 08.00 WIB (lebih kurang), gempa dan tsunami menyapu tanah rencong dan seisi kota Meulaboh.
“Pada hari itu sekitar pukul 6 sampai 7 pagi tidak ada rasanya keanehan bagi saya. Malahan, saya sangat gembira karena hari itu (Minggu) adalah rutinitas saya pulang ke kampung nenek, di Kecamatan Samatiga,” ujarnya, Senin (24/05/2021).
Sambung Alfaraby, ketika tiba di kampung yang berjarak sekitar 20 menit dari pusat kota Meulaboh, dia sempat bercengkerama bersama sanak saudara dan bermain di area kandang ayam yang terdapat di belakang rumah.
“Saya sempat main-main di area kandang ayam nenek. Lalu, saya lihat itu, ayamnya kok seperti punya gelagat bahwa akan terjadi hal aneh. Ciri-cirinya, berkokok-kokok tak karuan dan sangat gelisah saat itu. Tapi, karena saya masih anak-anak, saya tak begitu menghiraukan. Saat itu masih pukul 07.30 WIB seingat saya ketika melihat jam,” tambahnya.
Mahasiswa yang berkuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry ini pun mengaku sempat pindah ke area kebun rumah, yang pada saat itu berada tak jauh dari area kandang ayam.
Pada saat itulah, sesuatu yang mengerikan mulai terjadi. Gempa dengan kekuatan yang luar biasa melanda Aceh. Alfaraby sontak terjatuh di tanah dan tak mampu bangun lagi.
“Saya tak sanggup bangun lagi. Lutut saya lemas. Gempa ini kuat sekali, saya pikir hari kiamat. Tiang listik beton ada yang roboh kena rumah warga sampai hancur. Shock dan benar-benar ngeri saya bayangkan. Tepat di hadapan saya, juga ada bangunan kayu bergetar hebat dan sengnya jatuh, nyaris hampir kena di atas leher saya. Alhamdulillah, saya masih selamat,” ungkapnya.
Usai gempa dahsyat terjadi, selang beberapa menit kemudian Alfaraby diajak kembali ke kota oleh keluarga.
Namun, nasib baik kembali dialaminya. Karena pada saat melintas pulang tidak melewati jalur yang berada pesisir pantai. Menurut informasi, jalur pesisir menuju kota tersebut saat itu habis tersapu oleh tsunami setinggi pohon kelapa.
“Ada tsunami katanya setinggi pohon kelapa menyapu jalur pesisir itu ketika saya kembali ke kota. Syukur, saya pulangnya lewat jalur hutan. Kemudian saya dan keluarga melarikan diri ke wilayah tinggi sekitar Beuregang. Seisi kota Meulaboh juga. Ketika ada teriakan dalam bahasa Aceh ‘ie ka di eik !!!’ (red: air sudah naik !!!), jalanan seketika sungguh padat, tak ada yang peduli harta benda lagi dan langsung lari”, terangnya.
Terakhir, dalam video yang diupload di Instagramnya, Alfaraby berharap dengan adanya bencana gempa-tsunami Aceh tahun 2004 tersebut, bisa menjadikan Aceh bangkit dari keterpurukan.
Kini, banyak yang harus dibenahi pasca bencana besar itu dan seluruh pihak harus menjadikan tragedi itu sebagai pembelajaran kedepan.
“Saya hanya berharap kepada penyintas, semoga kita semua bangkit terus dari keterpurukan. Semoga bencana itu menjadi pembelajaran bagi kita semuanya dan mensyukuri nikmat dari Allah karena masih diberi kesempatan untuk selamat,” tutupnya.
Untuk diketahui, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, sebelum terjadi tsunami, wilayah Aceh diguncang gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter (SR). Gempa tersebut terjadi pada pukul 07.58 WIB.
Kemudian dikutip dari laman resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bnpb.go.id, gelombang tsunami yang menerjang Aceh saat itu mencapai ketinggian 30 meter.